Minggu, 13 November 2011

Pembantai Orang Utan Diduga Pengelola Perkebunan

Minggu, 30 Oktober 2011 | 15:31 WIB
TEMPO/Firman Hidayat

 TEMPO Interaktif, Samarinda - Kasus pembantaian orang utan (Pongo Pygmaeus Morio) secara besar-besaran yang terjadi di kawasan Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, yang terjadi pada 2009 dan 2010 lalu perlahan-lahan mulai terkuak.


Dalam sepekan terakhir beredar foto-foto yang menggambarkan warga yang baru saja memburu orang utan. Tampak sejumlah hewan mamalia yang dilindungi itu dalam keadaan telah tewas.


Berdasarkan informasi yang dihimpun dari investigasi sejumlah wartawan, termasuk Tempo, pembantaian terhadap orang utan serta hewan lainnya, seperti bekantan dan kera, dilakukan oleh warga. Mereka terdorong oleh tawaran uang dari perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Untuk seekor orang utan yang berhasil ditangkap dalam keadaan hidup atau mati diberi upah Rp 1 juta. Harga tersebut paling tinggi dibanding bekantan dan kera. Saat menagih pembayaran ke perusahaan, warga menyertakan foto yang menggambarkan berapa banyak orang utan yang ditangkap sebagai bukti.

Pembantaian terhadap orang utan serta hewan lainnya dilakukan karena hewan-hewan tersebut dituding sebagai hama pengganggu usaha perkebunan kelapa sawit. Padahal orang utan tergolong hewan mamalia yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Orang utan juga ditetapkan sebagai hewan yang terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Peneliti dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Yaya Rayadin, menjelaskan kematian orang utan di di kawasan Puan Cepak tidak tergolong kematian yang terjadi secara alami.

Yaya yang juga pemerhati orang utan saat ini sedang meneliti tulang belulang yang diduga orang utan korban pembantaian di Puan Cepak, yang diterimanya dari warga Kecamatan Muara Kaman. Tulang yang diterimanya berupa tulang lengan, rahang kiri, jari, rusuk, tulang belakang, dan tengkorak yang telah terbelah. Selain mencermati ciri-ciri khasnya secara anatomi, Yaya juga merekonstruksi tulang belulang tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium kehewanan Universitas Mulawarman ditemukan fakta bahwa tulang belulang tersebut adalah orang utan. "Tulang rahang, tulang tangan, dan jari adalah khas tulang orang utan yang merupakan hewan primata itu," kata Yaya kepada wartawan.

Dari kondisi tulang belulang yang ditelitinya, Yaya mengatakan penyebab kematian orang utan itu bukan karena faktor alami, melainkan karena--menurut istilah Yaya--faktor eksternal.

Sejumlah ciri yang dipaparkan Yaya di antaranya kondisi tulang tengkorak yang tidak utuh, terbagi menjadi beberapa keping. Kondisi tulang-tulang yang ditelitinya juga masih keras yang menandakan orang itu tidak dikubur.

Berdasarkan ukuran panjang tulang lengan dan tulang rahang yang masih menyisakan tiga gigi belakang, Yaya memperkirakan orang utan itu berusia 10 hingga 20 tahun. ”Penyebab kematian eksternal bisa karena ulah manusia,” ujar Yaya.

Dia juga mengatakan pernah meneliti populasi dan habitat orang utan di Landscape Kutai yang melingkupi Kutai Kartanegara termasuk Muara Kaman, Taman Nasional Kutai, dan Kabupaten Kutai Timur. Dari penelitian tersebut diketahui jumlah orang utan mencapai 2.500 hingga 3.000 ekor.

Yaya pun mengaku pernah mendengar adanya pembantaian orang utan di kawasan yang pernah ditelitinya. Namun Yaya tidak bisa memastikan siapa pelakunya karena tidak menyaksikan secara langsung pembantaian tersebut.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Tempo, terdapat sejumlah perusahaan yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan tersebut. Di antaranya PT Khaleda Agro Prima Malindo yang merupakan anak perusahaan Metro Kajang Holdings Berhad Malaysia dan PT Anugerah Urea Sakti.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Tandya Tjahyana, mengatakan akan menyelidiki ihwal kebenaran kasus pembantaian massal terhadap orang utan di Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara. ”Tapi kami tidak pernah tahu ada modus operandi pembantaian besar-besaran orang utan karena dianggap sebagai hama bagi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit,” ucapnya ketika dimintai konfirmasi, Minggu, 30 Oktober 2011.

Ihwal hasil penelitian Yaya Rayadin, menurut Tandya akan dijadikan dasar oleh BKSDA untuk mengembangkan penyelidikan. Tandya juga mengaku belum mengetahui adanya penelitian tersebut.

Sebelumnya juru bicara Kepolisian Resor Kutai Kartanegara, Ajun Komisaris Polisi Nyoman Subrata, menjelaskan bahwa kasus pembantaian orang utan itu hingga saat ini masih dalam tahap penyelidikan.

Delapan petugas perkebunan PT Khaleda Agro Prima Malindo termasuk orang-orang yang telah dimintai keterangan. ”Penyelidikan akan terus dikembangkan dengan meminta keterangan warga Puan Cepak dan sekitarnya,” katanya.

Hingga berita ini ditulis manajemen PT Khaleda Agro Prima Malindo belum bisa dimintai konfirmasi. Wartawan yang mendatangi kantor perusahaan tersebut tidak berhasil menemui petinggi perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar